Hujan hari ini turun dengan derasnya dan bersamaan dengan itu listrik di daerah Sono Raya pun padam. Entah ini sebuah kesialan atau sebuah keberuntungan, saya terjebak di warung burjo bersama 3 orang AA Burjo. Reaksi pertama dari AA Burjo adalah mencoba untuk menyalakan lilin. Bukan untuk ngepet, hanya untuk sekedar menghasilkan cahaya dari gelapnya malam.
Sejenak saya terpaku, bukan karena gelap ini, bukan juga karena hujan yang mengamuk ini. Saya terpaku oleh nyala lilin yang sama sekali tidak ada romantis-romantisnya. Diletakkan di atas botol minuman soda, bukan di tempat lilin yang semestinya. Lilin tersebut bukanlah lilin aromaterapi yang wanginya membuat tenang, bukan pula lilin abadi yang tak kunjung padam atau juga lilin klenteng merah menyala, bukan. Lilin tersebut hanyalah lilin putih biasa yang mungkin tidak akan bertahan dalam waktu 10 menit.
“Lengkap nih A, udah hujan deres, mati listrik pula”, celetuk dari AA Burjo kepada saya.
Ya, saya hanya tertawa geli mendengarnya. Saya kemudian teringat dengan perkataan saya sebelumnya kepada salah satu sahabat karib tempo hari.
“Kapan yang-yangan, Njar?”
“Suk, nek udan deres trus listrike mati. Ben iso ena-ena”
Hal itu terjadi sekarang, tapi mau yang-yangan dengan siapa? Dengan makhluk apa lebih tepatnya. Hanya ada AA Burjo dan para stafnya yang semuanya adalah pria. So damn moment.
Saya hanya ingin bertanya, pernahkah aku, kamu, kita, kalian menghabiskan malam syahdu saat hujan turun dan hanya ada cahaya lilin menerangi meja kalian bersama orang yang kalian sayangi? Atau pernahkah kalian menyengajakan kondisi tersebut untuk orang yang kalian sayangi?
Saya? Saya tak pernah. Tak pernah sempat. Belum diberi kesempatan.
Jika waktu itu tiba, maukah kau sekedar meresapi aroma hujan dan pendar genit cahaya lilin bersamaku?
Jika waktu itu tiba.
Hujan sudah reda, menyisakan genangan setinggi betis dan tagihan burjo sebesar Rp 10.000,-